Ulah kaum The Cityzen. Parodi atau harapan? |
Lagu Zadok The Priest, yang menjadi lagu resmi Liga Champion, amat dikenal publik sepak bola sejak meluncur pertama kali pada Agustus 1992. Adalah komposer Inggris, Tony Britten, yang menggubah salah satu karya komposer terbesar Inggris, George Frideric Handel pada 1727 itu, sekaligus memberi liriknya. Anehnya, orang-orang Inggris pula yang pertama kali melecehkannya.
Pendukung Manchester City mustahil tidak paham sejarah. Barangkali mereka lupa, kebablasan, sehingga dengan bodohnya mengolok-olok himne yang kerap membangunkan bulu kuduk itu di Stadion Etihad, Oktober lalu. Kejadiannya sebelum mereka mengalahkan Sevilla 2-1 di matchday 3. Akibat pelecehan kelas berat itu, klub kaya mendadak ini diperkarakan UEFA.
UEFA tengah mengumpulkan bukti-bukti lain untuk memutuskan vonis yang menurut rencana diumumkan pada 19 November. Kemungkinan besar berkas-berkas perkara City di UEFA bertambah. Sebelumnya 'pemain baru' di Liga Champion ini dikenai hukuman pelarangan transfer akibat melanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) pada 2013/14.
Dendam pendukung City pada UEFA pantas terjadi mengingat gara-gara larangan membeli bintang baru untuk musim 2014/15, gelar mereka lepas direbut Chelsea. Hukuman itu juga mempengaruhi kiprah mereka di Liga Champion yang dipenuhi ambisi. Namun terseretnya Platini ke dalam polemik FIFA, lewat isu suap 1,3 juta pound, justru sebagai pemicunya.
Mereka menganggap tindakan presiden UEFA dan Sepp Blatter dalam kasus korupsi di FIFA sebagai kejahatan keji. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari tampaknya benar adanya. Tapi, kasihannya kenapa Zadok The Priest yang jadi korban? Ternyata di telinga Cityzen, lagu itu dianggap simbol arogansi, provokasi, kemunafikan, dan kriminalitas.
Masak sih? Jangan-jangan memang Cityzen besar kepala, tidak injak bumi, lupa kacang pada kulitnya dan lagi-lagi, melupakan sejarah. Selama ini para pimpinan klub tidak mau repot-repot menantang UEFA, entah itu manajer, direktur, CEO apalagi pemiliknya. Mereka justru tahu diri sebagai klub anak bawang di belantara Liga Champion.
City justru baru memulai tradisinya di Liga Champion. Belum tiga tahun. Mau sukses instan menjadi jawara Eropa seperti di Premier League? Waduh, ini Eropa bung! Manajemen sadar, mereka tidak punya teknokrat, legenda atau tokoh berpengaruh di UEFA yang sanggup melobi atau bisa mempengaruhi keputusan. Kontak dan saluran mereka amat minim di sana.
Namun tidak demikian dengan pendukungnya, yang akrab disebut dengan Cityzen. Mereka mudah terbakar, marah sebagai bentuk letupan pengalaman pahit atau bisa juga bablasnya ekspektasi. Mereka amat sensitif, barangkali akibat hatinya kelamaan 'teraniaya' oleh kehebatan Manchester United. Galaknya minta ampun, bahkan lebih galak dari orang-orang lama.
Perlu Batasan
Berani meledek UEFA walau tidak punya tradisi di Liga Champion. |
Fan berharap Le Petit Napoleon Platini, begitu mereka menjuluki presiden UEFA, menghentikan arogansinya dengan melihat pasal 10 dari Konvensi Eropa mengenai hak asasi manusia yang berbunyi, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi dan seterusnya.' Tapi, uniknya, di satu sisi pendukung City juga arogan serta tidak peka dengan lingkungan.
Di kala pendukung Sheffield United atau Watford asyik berkhayal kapan lagu Zadok The Priest diputar di stadion mereka, dengan angkuh The Cityzen bertindak mengejutkan. Padahal kurang dari 10 musim lalu, nasib ketiganya mirip: sama-sama berjuang dari degradasi di akhir musim. Namun sepak bola rupanya perlu batasan yang dijaga oleh pemangku kekuasaan.
UEFA selalu mengacu pada pasal 16 tentang peraturan disiplin yang berisi klub/pihak tuan rumah bertanggung jawab pada perilaku tak senonoh atas gangguan lagu kebangsaan atau himne kompetisi. Hukuman untuk jenis pelanggaran ini biasanya diketuk oleh Komisi Disiplin berupa denda uang, atau bermain di stadion kosong alias tanpa penonton.
Uniknya, di musim lalu, City pernah menderita kejadian serupa ketika diintimidasi sorakan dan hinaan suporter CSKA Moskva saat bertandang ke Rusia, November 2014. Waktu itu yang dijadikan obyek adalah Yaya Toure. Dengan treatment sama, UEFA menghukum CSKA sekali bertanding tanpa penonton. Gara-gara ini, CSKA kalah 0-1 dari Bayern Muenchen.
City cuma sekali lagi jadi tuan rumah, 8 Desember, dengan menjamu Borussia Moenchengladbach. Takut hukuman serupa mempengaruhi nasib dan kans timnya, Manuel Pellegrini akhirnya angkat bicara. Sang manajer meminta UEFA supaya menghormati penonton yang telah membayar mahal tiket Liga Champion untuk meramaikan turnamen andalan UEFA ini.
"Fan berhak melakukan protes secara damai untuk mengekspresikan haknya, perasaannya, asal dengan hormat, seperti ketika menyoraki pemain dalam pertandingan," kata Pellegrini apa adanya, jujur, tapi penuh maksud. "Saya tidak mengerti kenapa UEFA mengincar fan kami. Mereka yang beli tiket, bukan manajer, pemain, atau wasit."
Bukan sepak bola kalau tidak kontroversial. Pada kasus ini terlihat jelas perasaan megalomania sudah menjangkiti pendukung City, setelah superlatif pada skuadnya. UEFA barangkali berpikir, apa jadinya jika pelecehan himne itu dibiarkan? Tim ini telah membeli kesuksesan secara instan, tanpa melalui proses sebagaimana layaknya di sepak bola. Bahaya kalau tidak digubris.
Andai yang melakukan itu fan Real Madrid, Barcelona atau Bayern Muenchen, mungkinkah UEFA mentolerirnya? Sekarang sukses memang bisa dibeli, apa susahnya? UEFA seperti halnya FIFA, rupanya masih kental jiwa sosialisnya, barangkali untuk mengimbangi tuntutan masyarakat kapitalis. Perbedaan adalah hikmah dan berkah. Bayangkan kalau semuanya similar.
(foto: manchestereveningnews/spanishnewstoday)